2010/03/29

Pembuatan Sirup Glukosa dari Pati Ubi Jalar (Ipomoea batatas) dengan Metode Enzimatis

Pendahuluan

Gula merupakan salah satu kebutuhan pokok masyarakat terutama perannya sebagai pemanis. Pemanfaatan gula selain untuk kebutuhan konsumsi secara langsung oleh konsumen baik sebagai pemanis maupun sebagai bahan tambahan, juga digunakan dalam proses produksi industri makanan dan minuman.

Kebutuhan gula Indonesia secara nasional pada tahun 2006 diperkirakan mencapai 3,8 juta ton, sementara produksi gula diperkirakan hanya sekitar 2,6 juta ton. Data ini menggambarkan bahwa untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri, Indonesia harus mengimpor gula sebanyak 1,2 juta ton (Susila, 2006).

Sampai saat ini peran gula sebagai pemanis masih didominasi oleh gula pasir (sukrosa). Berdasarkan kenyataan tersebut, harus diusahakan alternatif bahan pemanis selain sukrosa. Dewasa ini telah digunakan berbagai macam bahan pemanis alami dan sintesis baik itu yang berkalori, rendah kalori, dan nonkalori yang dijadikan alternatif pengganti sukrosa seperti siklamat, aspartam, stevia, dan gula hasil hidrolisis pati. Contoh gula hasil hidrolisis pati adalah sirup glukosa, fruktosa, dan maltosa.

Industri makanan dan minuman saat ini memiliki kecenderungan untuk menggunakan sirup glukosa. Hal ini didasari oleh beberapa kelebihan sirup glukosa dibandingkan sukrosa diantaranya sirup glukosa tidak mengkristal seperti halnya sukrosa jika dilakukan pemasakan pada suhu tinggi, inti kristal tidak terbentuk sampai larutan sirup glukosa mencapai kejenuhan 75% (Sa’id, 1987).

Bahan baku untuk pembuatan sirup glukosa adalah pati, misalnya tapioka, sagu, pati jagung, dan pati umbi-umbian. Salah satu pati umbi-umbian yang memiliki potensi besar untuk dikembangkan menjadi sirup glukosa adalah pati ubi jalar. Menurut Bouwkamp (1985), ubi jalar mengandung 20% sampai 30% pati.

Sirup glukosa atau sering juga disebut gula cair mengandung D-glukosa, maltosa, dan polimer D-glukosa yang dibuat melalui proses hidrolisis pati. Proses hidrolisis pati menjadi sirup glukosa dapat menggunakan katalis enzim, asam atau gabungan keduanya (Judoamidjojo, Darwis, dan Sa’id, 1992).

Hidrolisis secara enzimatis memiliki perbedaan mendasar dengan hidrolisis secara asam. Hidrolisis secara asam memutus rantai pati secara acak, sedangkan hidrolisis secara enzimatis memutus rantai pati secara spesifik pada percabangan tertentu (Norman, 1981). Menurut Judoamidjojo et al. (1992), hidrolisis dengan asam hanya akan mendapatkan sirup glukosa dengan ekuivalen dekstrosa (DE) sebesar 55. Hidrolisis enzimatis memiliki beberapa keuntungan, yaitu prosesnya lebih spesifik, kondisi prosesnya dapat dikontrol, biaya pemurnian lebih murah, dihasilkan lebih sedikit abu dan produk samping, dan kerusakan warna dapat diminimalkan (Norman, 1981). Pada hidrolisis pati secara enzimatis untuk menghasilkan sirup glukosa, enzim yang dapat digunakan adalah α-amilase, β-amilase, amiloglukosidase, glukosa isomerase, pullulanase, dan isoamilase (Crueger dan Crueger, 1984).

Tahapan pembuatan sirup glukosa dengan cara hidrolisis menggunakan enzim terdiri dari gelatinisasi, likuifikasi, sakarifikasi, purifikasi, dan evaporasi. Tingkat mutu sirup glukosa yang dihasilkan ditentukan oleh warna sirup, kadar air, dan tingkat konversi pati menjadi komponen-komponen glukosa, maltosa, dan dekstrin, yang dihitung sebagai ekuivalen dekstrosa (DE).

Nilai ekuivalen dekstrosa (DE) sirup glukosa yang tinggi dapat diperoleh dengan optimalisasi proses likuifikasi dan sakarifikasi, sedangkan kadar padatan kering dan warna sirup glukosa yang sesuai standar (SNI) diperoleh dengan proses evaporasi. Proses evaporasi yang dilakukan pada kondisi non-vakum atau pada tekanan udara 1 atm (1×105 Pa) menyebabkan warnanya menjadi kecoklatan. Menurut Sa’id (1987), proses pemanasan pada sirup glukosa dapat menyebabkan pembentukan warna. Gula sederhana terutama dekstrosa mudah mengalami reaksi browning non-enzimatik (reaksi Maillard) yang menghasilkan warna coklat.

Bahan dan Alat

Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah ubi jalar varietas AC putih (umur panen 4-5 bulan), enzim α-amilase (Liquozyme Supra produksi Novozymes A/S Denmark), enzim amiloglukosidase (Optimax 4060 VHP produksi Genencor International), air, karbon aktif, HCl 0,1N dan 4N, NaOH 0,1N, H2SO4 6N, akuades, indikator amilum 1%, larutan Luff Schoorl, larutan KJ 30%, asam sulfat pekat, Na thiosulfat 0,1N, larutan Pb-Asetat 5%, ethanol 40%, larutan Na2HPO4 5%.

Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah waterbath shaker, oven, rotary evaporator, magnetic stirer, neraca analitis, hand refraktometer, termometer, spektrofotometer, penyaring vakum, kertasWathman No 40, peralatan dapur, alat-alat gelas : gelas ukur, tabung reaksi, labu ukur, corong, pendingin balik, erlenmeyer, baker glass, pipet, batang pengaduk.

Pembuatan Sirup Glukosa

Pati ubi jalar ditimbang sebanyak 300 g, lalu ditambahkan air sebanyak 1000 ml untuk membentuk suspensi pati 30%. Suspensi pati ini memiliki pH awal 4,0-4,2. Suspensi pati kemudian diatur pH-nya antara 5,2-5,6 dengan cara menambahkan NaOH. Suspensi yang telah diatur pH-nya selanjutnya ditambahkan enzim α-amilase sebanyak 0,1 ml, sesuai dosis yang direkomendasikan oleh produsen (Novozymes A/S Denmark) yaitu 0,25-0,65 kg per ton pati. Suspensi kemudian dilikuifikasi, yaitu memanaskan suspensi pada suhu 95°C-105°C selama 120 menit. Selama proses ini dilakukan pengadukan yaitu dengan menggunakan magnetic stirer. Larutan dekstrin yang dihasilkan kemudian didiamkan sampai suhunya turun menjadi 60°C. pH larutan tersebut setelah likuifikasi berkisar antara 5,0-6,0. Larutan deksrin selanjutnya diatur pH-nya antara 4,0-4,5 untuk kondisi optimum enzim amiloglukosidase yaitu dengan menambahkan HCl. Larutan dekstrin ditambahkan enzim amiloglukosidase sebanyak 0,2 ml, sesuai dosis yang direkomendasikan oleh produsen (Genencor International) yaitu 0,40-0,80 kg per ton pati. Kemudian dilakukan proses sakarifikasi yaitu dengan cara menjaga suhunya tetap 60°C selama 24 jam yang dilakukan dengan mengunakanwater bath shaker. Larutan sirup glukosa yang dihasilkan pada proses sakarifikasi selanjutnya ditambahkan karbon aktif sebanyak 2% berat kering pati untuk dilakukan proses purifikasi yaitu dengan cara memanaskan larutan sirup ini pada suhu 80°C selama 10 menit. Setelah dilakukan pemurnian menggunakan karbon aktif, larutan sirup glukosa disaring menggunakan penyaringan vakum, kemudian dilakukan uji kadar gula pereduksi dengan metode Luff-Schoorl. Setelah itu dilakukan pemekatan menggunakan vacuum rotary evaporator pada tekanan udara vakum 31 kPa, dimana lama pemekatannya berbeda-beda bergantung kepada kadar padatan sirup yang tercapai sesuai SNI 01-2978-1992 yaitu 70°Brix.


Oleh : Feby Virlandia, STP

2 komentar: