Sejak lama manusia telah dihadapkan oleh kerusakan atau penurunan mutu bahan pangan, terutama bahan pangan yang mengandung kandungan air dan gizi yang tinggi. Penambahan bahan pengawet pada makanan merupakan salah satu cara yang dapat digunakan untuk mencegah atau mengurangi kerusakan pada bahan pangan. Bahan pengawet untuk mencegah kerusakan biologi yang disebabkan oleh mikroorganisme disebut dengan antimikroba.
Beberapa bahan pengawet atau komponen antimikroba telah digunakan sejak lama. Bahan atau zat pengawet kimia atau sintetis tersebut antara lain nitrit, paraben, asam benzoate, asam sorbat, asam propionat, dan lain-lain, akan tetapi pemakaian penggunaan zat-zat tersebut masih menimbulkan berbagai keraguan dari aspek kesehatan, apalagi jika penggunaannya melebihi dosis/jumlah yang telah ditetapkan oleh pemerintah.
Tingginya permintaan konsumen pangan terhadap pangan agar bebas dari penambahan senyawa-senyawa kimia sintetis memunculkan berkembangnya metode-metode pengawetan dengan menambahkan komponen atau zat pengawet alami. Contoh-contoh pengawet diantaranya adalah asam-asam organic yang dihasilkan dari fermentasi buah-buahan, bakteri asam laktat, dan komponen-komponen minyak atsiri dari ekstrak tumbuhan (rempah-rempah, tanaman tahunan, dan rumput-rumputan).
Fungsi utama penggunaan rempah-rempah dalam pengolahan pangan adalah sebagai bahan pemberi citarasa khas pada makanan. Beberapa penelitian terakhir menunjukkan bahwa rempah-rempah ternyata mempunyai aktivitas antimikroba. Tanaman atau rempah-rempah secara empiris mempunyai aktivitas antimikroba dan secara tradisional telah banyak digunakan untuk pengobatan. Sediaan bentuk segar, ekstrak, dan minyak atsiri digunakan sebagai obat anti-radang, analgesik, dan obat anti-diare. Sediaan dalam bentuk ekstrak atau minyak atsiri mempunyai aktivitas antimikroba terhadap bakteri pathogen dan penyebab kerusakan bahan pangan.
Usaha untuk mencari sumber antimikroba baru, terutama tanaman indigenus yang terdapat di Indonesia terus dilakukan. Tumbuhan yang digunakan secara tradisional dapat dijadikan sebuah alternatif pencarian senyawa antimikroba, karena pada umumnya memiliki senyawa aktif yang berperan sebangai senyawa antimikroba.
Pada bagian pertama tulisan ini, penulis mencoba menguraikan komponen-komponen antimikroba tumbuhan dan pada tulisan bagian kedua terdiri dari mekanisme kerja penghambatan senyawa antimikroba dan faktor-faktor yang mempengaruhi aktivitas antimikroba dalam pengolahan pangan.
Komponen-komponen antimikroba tumbuhan
Komponen antimikroba adalah suatu komponen yang bersifat dapat menghambat pertumbuhan bakteri atau kapang (bakteristatik atau fungistatik) atau membunuh bakteri atau kapang (bakterisidal atau fungisidal). Zat aktif yang terkandung dalam berbagai jenis ekstrak tumbuhan diketahui dapat menghambat beberapa mikroba patogen maupun perusak makanan. Zat aktif tersebut dapat berasal dari bagian tumbuhan seperti biji, buah, rimpang, batang, daun, dan umbi.
Komponen aktif yang terdapat pada bawang putih mempunyai efek penghambatan terhadap beberapa mikroba patogen seperti Staphylococcus aureus, E. coli, dan Bacillus cereus dan menghambat produksi toksin dari Clostridium botulinum tipe A dengan menurunkan produksi toksinnya sebanyak 3 log cycle.
C. Botulinum adalah bakteri berspora yang dapat memproduksi toksin pada kondisi yang memungkinkan, dapat dihambat pertumbuhannya oleh minyak bunga dan biji pala, minyak daun salam, minyak lada hitam dan lada putih dengan konsentrasi 125 ppm. Laporan lain juga menyebutkan bahwa ekstrak minyak lada dapat menghambat pertumbuhan S. aureus, E. coli,dan Candida albicans.
Komponen aktif yang terdapat pada minyak thyme diantaranya thymol, carvacrol, (ro)-cymene, dan (gamma)-terpiene diketahui mempunyai efek sebangai senyawa antimikroba terhadapa pertumbuhan bakteri. Bakteri-bakteri yang dapat dihambat pertumbuhannya antara lainSalmonella sp., S. aureus, E. coli, Listeria monocytogenes, Campylobacter jejuni, dan B. Cereus. Dari laporan tersebut dapat juga diperoleh informasi bahwa bakteri gram positif lebih sensitif dibanding dengan bakteri gram negatif.
Efek penghambatan senyawa antimikroba dari rempah-rempah tidak hanya dapat menghambat pertumbuhan bakteri, tetapi dapat juga menghambat pertumbuhan khamir seperti Candida albican dan Sacharomyces cerevisiae. Komponen-komponen aktif pada minyak thyme, minyak sage, minyak rosemary, minyak cumin, minyak caraway, dan minyak cengkeh dapat menghambat khamir dengan konsentrasi 0,5-2.0 (mg/mL).
Bakteri dalam bentuk sel vegetatif lebih sensitif dibanding dalam bentuk sporanya, hal ini dibuktikan oleh Ultee et al. (1998) yang meneliti efek penghambatan komponen carvacrol yang terdapat pada minyak thyme dan oregano terhadap pertumbuhan bakteri B. cereus.
Pada konsentrasi 1,75 mmol/L bentuk sel vegetatif lebih sensitif dibanding bentuk sporanya. Hal ini disebabkan struktur spora yang lebih komplek dibanding bentuk sel vegetatif, seperti adanya komponen asam dipikolinat yang dapat melindungi spora terhadap gangguan faktor lingkungan (suhu dan pH ekstrim). Lebih lanjut Ultee et al. (1998) menyebutkan bahwa pada konsentrasi 1.75 mmol/L dapat mneghambat kecepatan pertum buhan B. cereus sehingga faselag diperpanjang. Semakin lama fase lag maka aktivitas B. cereus sebagai penyebab kerusakan bahan pangan dapat dicegah.
Komponen-komponen antimikroba yang terdapat pada minyak cengkeh, minyak kayu manis, minyak oregano, minyak thyme, minyak bawang putih, dan bawang merah dapat menghambat spesies kapang diantaranya adalah Aspergillus flavus, A. parasiticus, A. versicolor, A. ochraceus, Candida sp., Crytococcus sp., Rhodotorulla sp., Torulopsis sp., dan Tricosporon sp.
Kapang adalah mikroorganisme penyebab kerusakan bahan pangan terutama biji-bijian dan produk tepung-tepungan dengan kadar air rendah. Beberapa spesies kapang dapat menghasilkan toksin (mikotoksin) adalah Aspergillus sp., Penicllium sp., dan Fusarium sp., yang dapat menghasilkan aflatoksin, patulin, okratoksin, zearalenon, dan okratoksin. — (bersambung).
Sumber bacaan;
Ultee A, Gorris LGM, Smid EJ. 1998. Bacterial activity of carvacrol toward the food-borne pathogen Bacillus cereus. J. Appl. Microbiol: 213-218.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar