Beluntas (Pluchea indica L.), nama tumbuhan ini mungkin jarang kita dengar. Tapi, sebetulnya bentuk tanaman ini tidak seasing namanya. Jika kita perhatikan dengan seksama, hampir dapat dipastikan orang akan langsung mengenalnya sebagai tanaman yang sering terdapat di halaman rumah, karena sering digunakan sebagai tanaman pagar.
Beluntas merupakan tanaman perdu tegak, berkayu, bercabang banyak, dengan tinggi bisa mencapai dua meter. Daun tunggal, bulat bentuk telur, ujung runcing, berbulu halus, daun muda berwarna hijau kekuningan dan setelah tua berwarna hijau pucat serta panjang daun 3,8-6,4 cm. Tumbuh liar di tanah dengan kelembaban tinggi; di beberapa tempat di wilayah Jawa Barat tanaman ini digunakan sebagai tanaman pagar dan pembatas antar guludan di perkebunan. Beberapa daerah di Indonesia menyebut nama beluntas dengan nama yang berbeda seperti baluntas (Madura), Luntas (Jawa Tengah), dan Lamutasa (Makasar).
Secara tradisional daun beluntas digunakan sebagai obat untuk menghilangkan bau badan, obat turun panas, obat batuk, dan obat diare. Daun beluntas yang telah direbus sangat baik untuk mengobati sakit kulit. Disamping itu daun beluntas juga sering dikonsumsi oleh masyarakat sebagai lalapan.
Adanya informasi secara tradisional dari masyarakat yang telah lama memanfaatkan daun beluntas sebagai salah satu tanaman obat mendorong para peneliti untuk mengadakan berbagai penelitian guna membuktikan khasiatnya secara ilmiah. Pada tulisan ini akan dicoba pemaparan dua penelitian pemanfatan daun beluntas dalam bentuk ekstrak sebagai komponen antibakteri (Ardiansyah, 2002) dan minyak atsiri sebagai zat antioksidan (Paini Sri Widyawati 2005).
Daun beluntas sebagai ekstrak antibakteri
Untuk mendapatkan ekstrak daun beluntas harus dikeringkan, selanjutnya dilakukan ekstraksi. Ekstraksi dilakukan menggunakan pelarut heksan, residu yang dihasilkan diekstrak kembali dengan pelarut etanol untuk mendapatkan ekstrak polar defatted dengan metode refluk. Selain itu dilakukan ekstraksi langsung menggunakan pelarut etanol untuk mendapatkan ekstrak polar non defatted menggunakan metode yang sama Pengujian aktivitas antibakteri ekstrak dilakukan terhadap bakteri-bakteri dari kelompok patogen penyebab keracunan makanan sepertiEscherichia coli, Salmonella typhi, Staphylococcus aureus, dan Bacillus cereus. Selain itu E. coli merupakan bakteri penyebab infeksi saluran pencernaan, sedangkan S. aureus merupakan bakteri penyebab impetigo (pembengkakan pada lapisan epidermis kulit), furuncle (radang di jaringan sub kutan), dan carbuncle (peradangan yang meluas dan mengenai folikel rambut). Dari kelompok bakteri penyebab kebusukan makanan adalahPseudomonas fluorescens. Pengujian aktivitas antibakteri menggunakan metode difusi sumur; adanya zona bening disekitar sumur menunjukkan aktivitas antibakteri. Davis Stout mengemukakan bahwa ketentuan kekuatan antibakteri adalah sebagai berikut: daerah hambatan 20 mm atau lebih berarti sangat kuat, daerah hambatan 10 – 20 mm (kuat), 5 -10 mm (sedang), dan daerah hambatan 5 mm atau kurang (lemah).
* mean +/- SE
Pada Tabel di atas terlihat bahwa ekstrak nondefatted menunjukkan aktivitas penghambatan lebih tinggi dibandingkan dengan ekstrak defatted. Jika data pada tabel dikaitkan dengan ketentuan kekuatan antibakteri yang dikemukakan oleh Stout, maka kekuatan antibakteri yang terkandung dalam ekstrak daun beluntas masuk dalam kategori “sedang” (masuk dalam kisaran 5-10 mm). Meskipun kekuatan antibakteri dalam kategori sedang, dapat dipahami bila daun beluntas berkhasiat menyembuhkan berbagai penyakit yang diakibatkan infeksi bakteri.
Daun beluntas sebagai zat antioksidan
Penelitian yang dilakukan oleh Paini Sri Widyawati (2005) mencoba meneliti aktivitas antioksidan dari daun beluntas. Daun beluntas diekstrak menggunakan etanol dengan metode soxhlet dan air pada metode hidrodistilasi. Selanjutnya masing-masing ekstrak, baik dari metode soxhlet maupun hidrodistilasi diuji kemampuan radical scavenging activityDPPH (2,2-diphenil-1- picrylhydrazil radical), yaitu antioksidan dalam ekstrak dan minyak atsiri daun beluntas akan bereaksi DPPH dan mengubahnya menjadi alfa,alfa-diphenyl-beta-picrylhydrazine. Perubahan serapan yang dihasilkan oleh reaksi ini menjadi ukuran kemampuan antioksidan dari daun beluntas. Sebagai pembanding digunakan TBHQ (tertier butil hidroquinon) dan υ-karoten yang secara umum telah digunakan sebagai aktioksidan komersial.
Hasil yang diperoleh menunjukkan kemampuannya secara berturutan sebagai berikut beta-karoten > minyak atsiri beluntas > ekstrak beluntas > TBHQ. Dari data ini dapat dikatakan bahwa daun beluntas memiliki potensi sebagai antioksidan alami dan dapat menggantikan kedudukan TBHQ dan beta-karoten sebagai antioksidan.
Potensi aplikasi daun beluntas sebagai pengawet makanan dan obat
Penggunanan senyawa antimikroba/antibakteri yang berfungsi sebagai bahan pengawet, juga antioksidan yang berfungsi untuk mencegah terjadinya reaksi oksidasi sehingga mencegah produk makanan dari kerusakan karena terpapar oleh udara dan cahaya, selama ini sebagian besar berasal dari bahan-bahan kimia sintetik. Berdasarkan penelitian bahan-bahan tersebut dapat menyebabkan dampak negatif terhadap kesehatan. Sebagai alternatif pemecahannya dapat digunakan bahan-bahan alami yang mempunyai kelebihan karena lebih aman untuk dikonsumsi.
Dari data-data seperti disebutkan diatas dapat disimpulkan bahwa daun beluntas mempunyai potensi unutk dikembangkan sebagai ekstrak yang berfungsi sebagai pengawet makanan, karena kemampuan untuk menghambat pertumbuhan bakteri-bakteri penyebab keracunan makanan dan bakteri penyebab kerusakan makanan. Disamping itu juga kemampuannya sebagai radical scavenging activity dapat digunakan sebagai senyawa antioksidan.
Selain itu juga potensi daun beluntas dapat digunakan juga sebagai obat radang (inflamasi) dan obat diare karena kemampuannya untuk menghambat pertumbuhan bakteri S. aureus dan E. coli.
Sumber: Berita Iptek Topik: Pangan Tags: antibakteri, antioksidan, daun beluntas
Tidak ada komentar:
Posting Komentar